Wednesday, January 15, 2014

Memburu Profit Versus Etika dalam Bisnis Pariwisata



Pertanyaan:

Yth Pak Erwin,

    Saya baru berlibur ke satu kota yang sangat terkenal dengan industri pariwisatanya pada liburan Natal dan Tahun Baru ini. Selama hampir seminggu, saya tinggal di kota itu, dan saya tertarik untuk berinvestasi serta menjalankan  bisnis yang berhubungan dengan pariwisata di kota itu.


    Namun, saya sangat kecewa terhadap sikap dari beberapa pelaku bisnis setempat “aji mumpung”. Oleh karena saya sebagai wisatawan tidak dapat bahasa lokal, mereka mendadak menaikkan harga-harga barang yang sebelumnya lebih rendah.


    Hal tersebut terlihat dari price list yang baru di ubah. Banyak juga yang menipu sana sini dengan menjadi broker, sewaktu saya mau membeli barang kualitas tertentu.

    Saya jadi berpikir ulang untuk berinvestasi di kota yang tadinya terkenal ramah, namun mendadak berubah karena semangatnya mengejar profit ini. Saya berfikir, kemungkinan wisatawan lain yang menjadi calon konsumen juga merasakan hal yang sama dan kecewa. Mohon pendapatnya.

Sunari,
 Bekasi Jawa Barat

JAWABAN:
Pak Sunari, dalam bisnis pariwisata, kita harus tahu ada masa-masa yang dikenal dengan sebutan “high season” , di mana permintaan sangat meningkat. Indonesia sebagai salah satu negara yang banyak hari libur adalah surga bagi industri pariwisata khususnya lokal. Dengan banyaknya hari libur berarti banyak kesempatan mendapat konsumen “high season”  tersebut.

    Musim semacam ini bagi industri pariwisata berarti harga naik. Hal ini wajar, karena demand (permintaan) meningkat, sementara supply (penawaran) ada batasnya (seperti jumlah kamar hotel, jumlah tiket pesawat, jumlah taksi yang di sewakan, jumlah kursi di rumah makan dan lain-lain). Sekali lagi hal ini sangat wajar dalam industri pariwisata. Beberapa hotel atau penginapan malah menaikkan tariff 10%-30% pada waktu liburan kemarin.

    Perantara alias broker dalam industri ini juga masih wajar. Yang tidak wajar, adalah kalau persentase kenaikan harga sampai berkali-kali lipat.

    Banyak perantara mengambil keuntungan terlalu tinggi, sementara kualitas jasa turun, karena kebanyakan permintaan. Oleh karena industri ini adalah industri jasa yang akan menyebarkan informasi dari mulut ke mulut baik informasi yang baik maupun jelek. Maka sangat disayangkan kalau informasi yang tidak mendukung malah menyebar.

    Saya percaya, bisnis yang tetap menjaga harga dan kualitas pastilah akan disukai konsumen. Pengalaman saya berwisata, misalnya di rumah makan yang harganya wajar dan kualitasnya baik tetap akan di penuhi pembeli. Yang “aji mumpung” juga dipenuhi pembeli, tapi hanya pada waktu “high season saja”, tetapi setelah itu penjualan mereka akan drop lagi. Konsumen tidaklah bodoh.

    Jadi, dalam industri pariwisata, mau berbisnis di bidang apa saja sebenarnya peluangnya sangat besar apalagi di Indonesia. Menjaga etika pada waktu mendapat kesempatan permintaan yang meningkat juga akan membantu marketing bisnis Bapak sehingga lebih dipercaya.

    Gaya bisnis “hit and run” saat ini sudah tidak menarik lagi. Para pebisnis sudah beralih ke bisnis yang bisa menjaga “continuous competitive advantage” agar mempunyai keuntungan yang berkelanjutan. Dengan melihat gangguan yang Bapak hadapi itu, ada kemungkinan banyak wisatawan yang juga dikecewakan. Usul saya, ini dapat menjadi peluang Bapak membangun bisnis di kota itu dengan etis dan tetap profit.

Semoga jawaban saya yang singkat ini dapat membantu Anda. Artikel-artikel yang di tulis dapat di baca di http://1000pengusaha.wordpress.com. Untuk informasi lebih lanjut dan pertanyaan pembaca dapat mengirim email ke: erwin.halim.mba@gmail.com.


Sumber : Koran Kontan, 3 Januari 2014

   

No comments:

Post a Comment