Pertanyaan:
Yth Pak Erwin,
Saya baru berlibur ke satu kota
yang sangat terkenal dengan industri pariwisatanya pada liburan Natal dan Tahun
Baru ini. Selama hampir seminggu, saya tinggal di kota itu, dan saya tertarik
untuk berinvestasi serta menjalankan
bisnis yang berhubungan dengan pariwisata di kota itu.
Namun, saya sangat kecewa
terhadap sikap dari beberapa pelaku bisnis setempat “aji mumpung”. Oleh karena
saya sebagai wisatawan tidak dapat bahasa lokal, mereka mendadak menaikkan
harga-harga barang yang sebelumnya lebih rendah.
Hal tersebut terlihat dari
price list yang baru di ubah. Banyak juga yang menipu sana sini dengan menjadi
broker, sewaktu saya mau membeli barang kualitas tertentu.
Saya jadi berpikir ulang untuk
berinvestasi di kota yang tadinya terkenal ramah, namun mendadak berubah karena
semangatnya mengejar profit ini. Saya berfikir, kemungkinan wisatawan lain yang
menjadi calon konsumen juga merasakan hal yang sama dan kecewa. Mohon
pendapatnya.
Sunari,
Bekasi Jawa Barat
JAWABAN:
Pak Sunari, dalam bisnis pariwisata, kita harus tahu ada masa-masa yang
dikenal dengan sebutan “high season” , di mana permintaan sangat meningkat. Indonesia
sebagai salah satu negara yang banyak hari libur adalah surga bagi industri
pariwisata khususnya lokal. Dengan banyaknya hari libur berarti banyak
kesempatan mendapat konsumen “high season”
tersebut.
Musim semacam ini bagi industri
pariwisata berarti harga naik. Hal ini wajar, karena demand (permintaan)
meningkat, sementara supply (penawaran) ada batasnya (seperti jumlah kamar hotel,
jumlah tiket pesawat, jumlah taksi yang di sewakan, jumlah kursi di rumah makan
dan lain-lain). Sekali lagi hal ini sangat wajar dalam industri pariwisata. Beberapa
hotel atau penginapan malah menaikkan tariff 10%-30% pada waktu liburan kemarin.
Perantara alias broker dalam
industri ini juga masih wajar. Yang tidak wajar, adalah kalau persentase
kenaikan harga sampai berkali-kali lipat.
Banyak perantara mengambil
keuntungan terlalu tinggi, sementara kualitas jasa turun, karena kebanyakan
permintaan. Oleh karena industri ini adalah industri jasa yang akan menyebarkan
informasi dari mulut ke mulut baik informasi yang baik maupun jelek. Maka sangat
disayangkan kalau informasi yang tidak mendukung malah menyebar.
Saya percaya, bisnis yang tetap
menjaga harga dan kualitas pastilah akan disukai konsumen. Pengalaman saya
berwisata, misalnya di rumah makan yang harganya wajar dan kualitasnya baik
tetap akan di penuhi pembeli. Yang “aji mumpung” juga dipenuhi pembeli, tapi
hanya pada waktu “high season saja”, tetapi setelah itu penjualan mereka akan
drop lagi. Konsumen tidaklah bodoh.
Jadi, dalam industri
pariwisata, mau berbisnis di bidang apa saja sebenarnya peluangnya sangat besar
apalagi di Indonesia. Menjaga etika pada waktu mendapat kesempatan permintaan
yang meningkat juga akan membantu marketing bisnis Bapak sehingga lebih
dipercaya.
Gaya bisnis “hit and run” saat
ini sudah tidak menarik lagi. Para pebisnis sudah beralih ke bisnis yang bisa
menjaga “continuous competitive advantage” agar mempunyai keuntungan yang
berkelanjutan. Dengan melihat gangguan yang Bapak hadapi itu, ada kemungkinan
banyak wisatawan yang juga dikecewakan. Usul saya, ini dapat menjadi peluang
Bapak membangun bisnis di kota itu dengan etis dan tetap profit.
Semoga jawaban saya yang singkat ini
dapat membantu Anda. Artikel-artikel yang di tulis dapat di baca di http://1000pengusaha.wordpress.com.
Untuk informasi lebih lanjut dan pertanyaan pembaca dapat mengirim email ke: erwin.halim.mba@gmail.com.
Sumber : Koran Kontan, 3 Januari 2014
No comments:
Post a Comment