Siapa tak kenal dengan
hamburger atau burger? Kudapan asal Eropa ini sudah lama ngetop dan populer di
Tanah Air. Terbukti, banyak pengusaha makanan lokal tertarik menjajakannya.Masing-masing
menonjolkan ciri khas pada setiap sajian burger yang dijajakan. Kendati begitu,
tidak semua pemain bisa bertahan di bisnis ini. Terlebih, persaingan juga
semakin ketat.
Setidaknya,
begitulah hasil review sejumlah tawaran kemitraan burger yang sebelumnya sudah
pernah diulas KONTAN. Beberapa di
antaranya adalah Big Burger, Umiku Burger, dan Quickie Eat & Tasted. Dari
tiga pemain itu, ada yang bisnisnya semakin berkembang, tapi ada pula yang
stagnan dan bahkan menutup tawaran kemitraannya. Seperti apa perkembangan
usahanya? Berikut ulasannya:
Big Burger
Big
Burger sudah berdiri di Yogyakarta sejak tahun 2000. Namun, pemiliknya,
Augustinus Dwi Purwanto, baru menawarkan kemitraan usaha burger ini pada tahun
2009.Ketika KONTAN mengulas usaha ini pada Agustus 2011, Big Burger sudah
memiliki 170 mitra. Kini, mitranya bertambah menjadi 200. Sementara, total
gerainya kini sudah ada 254. Sebanyak 26 di antaranya adalah milik sendiri.
Sebagian
besar mitra Big Burger berada di Pulau Jawa, seperti Pekalongan, Bekasi, dan
Semarang. Namun ada juga mitra baru asal Lampung yang bergabung pada 2012.
Jika dulu Big Burger menawarkan tiga paket
investasi, kini Augustinus mengurangi menjadi dua paket saja. Yakni, paket mini
gerai dan paket kafe. Nilai investasi yang dipatok masih sama, yakni
masing-masing Rp 39 juta dan Rp 59 juta. Paket booth sudah tidak dibuka lagi
untuk mengubah citra Big Burger. Selain biaya investasi awal, Big Burger
membebankan biaya keanggotaan di luar Yogyakarta sebesar Rp 100.000 per bulan.
Untuk
paket mini gerai, Augustinus memperkirakan mitra bisa mendapat keuntungan
bersih Rp 9 juta–Rp 15 juta per bulan. Asumsinya, mitra bisa menjual hingga 250
burger per hari. Adapun mitra yang mengambil paket kafe diperkirakan bisa
meraup keuntungan bersih hingga Rp 25 juta per bulan dari penjualan 400 burger
dalam sehari.
Dari kedua paket ini,
mitra ditargetkan balik modal dalam waktu lima bulan. Pasalnya, paket ini
memungkinkan mitra memiliki tempat dagang yang besar, sehingga pelanggan merasa
nyaman berlama-lama di gerai. Selain itu, mitra juga bisa menjual aneka minuman
sebagai pelengkap. Penjualan minuman dapat membantu mendongkrak laba.
"Gerai ini bisa dijadikan tempat berkumpul muda-mudi," ujarnya.
Augustinus
bilang, pada bulan Februari mendatang, Big Burger akan menambah dua menu, yakni
crispy chicken dan chicken burger. Selama ini, Big Burger hanya menyajikan
variasi burger dengan rasa daging sapi.
Mahalnya
harga daging sapi membuat Augustinus memutar otak agar omzet bisa naik dengan
meluncurkan menu yang menggunakan daging ayam. Big Burger mematok harga yang
sama dengan sebelumnya, yakni Rp 7.000–Rp 11.000 per porsi.
Umiku Burger
Umiku
berdiri sejak 2006 di Jakarta Timur. Sang pemilik, Namruddin, membuat konsep 2
in 1, yakni berjualan burger dan crepes dalam satu booth. Tujuan awalnya untuk
mengantisipasi kejenuhan pasar atas salah satu produk. Ternyata, konsep ini
cukup membuat Umiku bertahan, bahkan mampu berkembang pesat.
Pada
akhir tahun 2008, saat KONTAN mengulas tawaran kemitraan Umiku, jumlah gerai
mitra Umiku sebanyak 27 cabang yang seluruhnya berlokasi di Jabodetabek.
Setelah
beberapa tahun, mitra Umiku bertambah menjadi 178 gerai milik mitra.
"Pertambahan paling banyak di Riau dan Samarinda," ujar Ahmad Saugi,
Manajer Pemasaran CV Cinta Umiku, yang memayungi merek Umiku.Menurut Ahmad,
pihaknya lebih banyak menjaring mitra baru melalui promosi di internet.
"Kami buat blog dan website," ujarnya. Selain itu, mereka juga terus
mengembangkan pilihan paket investasi, namun kenaikan harga tak terlalu jauh.
Pada
2008 lalu, paket yang ditawarkan Umiku baru satu, yakni paket gerobak seharga
Rp 6,5 juta. Di sini, mitra mendapat seluruh perlengkapan berjualan Burger dan
Crepes dalam satu gerobak.Saat ini, paket yang ditawarkan berkembang menjadi
empat pilihan. Pertama, paket gerobak standar senilai Rp 7 juta. Mitra mendapat
gerobak standar tanpa roda, perlengkapan, bahan baku, dan pelatihan. Kedua,
paket Rp 7,5 juta dengan fasilitas sama, namun gerobak beroda sehingga bisa
berjualan keliling.
Ketiga,
paket mix seharga Rp 9,5 juta. Di sini, mitra mendapatkan gerobak yang lebih
bagus dengan perlengkapan yang lebih bagus, sehingga bisa dibuat berjualan
indoor. Keempat, paket eksklusif seharga Rp 12,5 juta. Paket ini seperti paket
mix dan didesain untuk mitra yang ingin berjualan di mal. Namun, bedanya,
kompor yang diberikan adalah kompor listrik. "Di sejumlah mal, tidak
mengizinkan menggunakan kompor gas," tutur Ahmad. Seluruh paket di atas
adalah paket 2 in 1 burger dan crepes.
Di
luar itu, ada satu paket lagi yang mengusung konsep 3 in 1. Yakni, burger,
crepes, dan ayam goreng atau fried chicken. Menu ayam goreng tepung ini baru
dikembangkan sejak tahun 2010. Harga paket ini sebesar Rp 15 juta. Ahmad
mengakui, penambahan menu ini merupakan strategi menjaga penjualan agar tetap
stabil. Soalnya, ada kecenderungan peminat burger mulai berkurang.
Menurutnya,
permintaan burger saat ini tidak setinggi ketika awal Umiku dibuat. "Tapi,
permintaan tetap ada dan penjualan burger masih cukup bagus," katanya.
Quickie Eat & Tasted
Quickie
Eat & Tasted sudah menawarkan kemitraan sejak tahun 2009 di Bintaro,
Tangerang Selatan. Ketika KONTAN mengulas usaha ini pada Agustus 2011, Quickie
memiliki dua gerai milik sendiri dan satu gerai milik mitra.
Namun,
ternyata nasib kurang menguntungkan dialami Quickie. “Semua gerai Quickie sudah
ditutup pada akhir tahun 2011,” ujar Guz Ardi, pemilik Quickie Eat &
Tasted.
Ketika
ditanya penyebabnya, Ardi mengaku kurang maksimal melakukan kontrol terhadap
usahanya. Selain itu, ia juga memiliki usaha lain, yakni ternak ikan, sehingga
fokusnya tidak lagi pada usaha burger.
"Sebenarnya,
masih ada calon mitra yang tertarik mengembangkan dan pangsa pasar untuk bisnis
burger juga cukup luas. Tapi, ada kekurangan dalam hal pengelolaan," ucap
dia
Dulunya,
Quickie menawarkan paket investasi dengan biaya Rp 10 juta. Paket kerjasamanya
selama dua tahun. Dengan investasi sebesar itu, mitra mendapatkan booth,
peralatan lengkap, bahan baku awal, serta pelatihan.
Selama
periode kerjasama, mitra akan dibebaskan dari royalty fee. "Mitra
diberikan keleluasaan melakukan inovasi menu namun tetap atas persetujuan
pusat," kata Ardi.
Keleluasaan
itu membuat mitra tidak terpaku pada menu burger saja. Tapi bisa
mengkombinasikannya dengan menu seperti spaghetti atau rice bowl, yaitu burger
dengan campuran nasi. Ardi mengklaim,
menu Quickie terbuat dari 100% daging tanpa campuran bahan kimia lainnya.
"Saus dan mayones diracik sendiri, jadi aman bagi kesehatan,"
ujarnya.Ardi dulu meyakini, mitra bisa meraup omzet Rp 15 juta per bulan, dan
balik modal maksimal empat bulan.
Kualitas Pelayanan Harus Memuaskan
BURGER termasuk salah satu
kudapan asal Eropa yang punya banyak penggemar di Indonesia. Makanya. Banyak pengusaha
makanan menjadikan burger sebagai lading bisnis. Tak pelak, persaingan di
bisnis burger pun semakin ketat. Tentu saja, kualitas produk dan pelayanan yang
baik menjadi prasyarat utama agar bisa bertahan di bisnis yang tingkat
kompetisinya sudah ketat
Pengamat waralaba dari Proverb Consulting, Erwin Halim , mengatakan agar bisa berkembang, setiap
pemain harus konsisten meningkatkan kualitas dan memperbanyak varian menu baru.
Kalau dari segi produk sudah baik, selanjutnya sistem pemasaran menjadi penentu
hidup matinya usaha ini.”Sistem pemasaran yang kreatif dan jeli menangkap
peluang pasar akan memetik rezeki lebih besar,”ujarnya.
Menurut Erwin, saat ini, masyarakat sudah akrab
dengan burger. Karena itu, mereka ingin mencoba burger yang dari segi rasa
berbeda dan pelayanan menyenangkan. “Jadi, tim marketing harus paham betul
segmen pasar yang mau dibidik,”ujarnya.
Maka itu, lokasi tempat
berjualan juga harus diperhatikan. Jika ingin membidik kelas menengah bawah,
pengusaha harus membuka gerai di pemukiman yang banyak dihuni masyarakat kelas
menengah bawah.
Namun, bila membidik kelas
menengah atas, tempat yang tepat adalah di mal-mal besar yang banyak dikunjungi
masyarakat kelas menengah atas. Harganya juga harus sesuai dengan segmen pasar.
Di sisi lain, control harus dilakukan secara intensif, baik itu control kualitas,
harga, dan pelayanan yang diberikan.
Sumber
: Kontan, 26 Januari 2013
Marantina, Revi Yohana, Noverius
Laoli