Saturday, January 26, 2013

Laba bisnis burger masih bikin ngiler


Siapa tak kenal dengan hamburger atau burger? Kudapan asal Eropa ini sudah lama ngetop dan populer di Tanah Air. Terbukti, banyak pengusaha makanan lokal tertarik menjajakannya.Masing-masing menonjolkan ciri khas pada setiap sajian burger yang dijajakan. Kendati begitu, tidak semua pemain bisa bertahan di bisnis ini. Terlebih, persaingan juga semakin ketat.

Setidaknya, begitulah hasil review sejumlah tawaran kemitraan burger yang sebelumnya sudah pernah diulas KONTAN. Beberapa di antaranya adalah Big Burger, Umiku Burger, dan Quickie Eat & Tasted. Dari tiga pemain itu, ada yang bisnisnya semakin berkembang, tapi ada pula yang stagnan dan bahkan menutup tawaran kemitraannya. Seperti apa perkembangan usahanya? Berikut ulasannya:

Big Burger

 Big Burger sudah berdiri di Yogyakarta sejak tahun 2000. Namun, pemiliknya, Augustinus Dwi Purwanto, baru menawarkan kemitraan usaha burger ini pada tahun 2009.Ketika KONTAN mengulas usaha ini pada Agustus 2011, Big Burger sudah memiliki 170 mitra. Kini, mitranya bertambah menjadi 200. Sementara, total gerainya kini sudah ada 254. Sebanyak 26 di antaranya adalah milik sendiri.

Sebagian besar mitra Big Burger berada di Pulau Jawa, seperti Pekalongan, Bekasi, dan Semarang. Namun ada juga mitra baru asal Lampung yang bergabung pada 2012.

 Jika dulu Big Burger menawarkan tiga paket investasi, kini Augustinus mengurangi menjadi dua paket saja. Yakni, paket mini gerai dan paket kafe. Nilai investasi yang dipatok masih sama, yakni masing-masing Rp 39 juta dan Rp 59 juta. Paket booth sudah tidak dibuka lagi untuk mengubah citra Big Burger. Selain biaya investasi awal, Big Burger membebankan biaya keanggotaan di luar Yogyakarta sebesar Rp 100.000 per bulan.
Untuk paket mini gerai, Augustinus memperkirakan mitra bisa mendapat keuntungan bersih Rp 9 juta–Rp 15 juta per bulan. Asumsinya, mitra bisa menjual hingga 250 burger per hari. Adapun mitra yang mengambil paket kafe diperkirakan bisa meraup keuntungan bersih hingga Rp 25 juta per bulan dari penjualan 400 burger dalam sehari.

Dari kedua paket ini, mitra ditargetkan balik modal dalam waktu lima bulan. Pasalnya, paket ini memungkinkan mitra memiliki tempat dagang yang besar, sehingga pelanggan merasa nyaman berlama-lama di gerai. Selain itu, mitra juga bisa menjual aneka minuman sebagai pelengkap. Penjualan minuman dapat membantu mendongkrak laba. "Gerai ini bisa dijadikan tempat berkumpul muda-mudi," ujarnya.

Augustinus bilang, pada bulan Februari mendatang, Big Burger akan menambah dua menu, yakni crispy chicken dan chicken burger. Selama ini, Big Burger hanya menyajikan variasi burger dengan rasa daging sapi.
Mahalnya harga daging sapi membuat Augustinus memutar otak agar omzet bisa naik dengan meluncurkan menu yang menggunakan daging ayam. Big Burger mematok harga yang sama dengan sebelumnya, yakni Rp 7.000–Rp 11.000 per porsi.

Umiku Burger

Umiku berdiri sejak 2006 di Jakarta Timur. Sang pemilik, Namruddin, membuat konsep 2 in 1, yakni berjualan burger dan crepes dalam satu booth. Tujuan awalnya untuk mengantisipasi kejenuhan pasar atas salah satu produk. Ternyata, konsep ini cukup membuat Umiku bertahan, bahkan mampu berkembang pesat.
Pada akhir tahun 2008, saat KONTAN mengulas tawaran kemitraan Umiku, jumlah gerai mitra Umiku sebanyak 27 cabang yang seluruhnya berlokasi di Jabodetabek.
Setelah beberapa tahun, mitra Umiku bertambah menjadi 178 gerai milik mitra. "Pertambahan paling banyak di Riau dan Samarinda," ujar Ahmad Saugi, Manajer Pemasaran CV Cinta Umiku, yang memayungi merek Umiku.Menurut Ahmad, pihaknya lebih banyak menjaring mitra baru melalui promosi di internet. "Kami buat blog dan website," ujarnya. Selain itu, mereka juga terus mengembangkan pilihan paket investasi, namun kenaikan harga tak terlalu jauh.

Pada 2008 lalu, paket yang ditawarkan Umiku baru satu, yakni paket gerobak seharga Rp 6,5 juta. Di sini, mitra mendapat seluruh perlengkapan berjualan Burger dan Crepes dalam satu gerobak.Saat ini, paket yang ditawarkan berkembang menjadi empat pilihan. Pertama, paket gerobak standar senilai Rp 7 juta. Mitra mendapat gerobak standar tanpa roda, perlengkapan, bahan baku, dan pelatihan. Kedua, paket Rp 7,5 juta dengan fasilitas sama, namun gerobak beroda sehingga bisa berjualan keliling.

Ketiga, paket mix seharga Rp 9,5 juta. Di sini, mitra mendapatkan gerobak yang lebih bagus dengan perlengkapan yang lebih bagus, sehingga bisa dibuat berjualan indoor. Keempat, paket eksklusif seharga Rp 12,5 juta. Paket ini seperti paket mix dan didesain untuk mitra yang ingin berjualan di mal. Namun, bedanya, kompor yang diberikan adalah kompor listrik. "Di sejumlah mal, tidak mengizinkan menggunakan kompor gas," tutur Ahmad. Seluruh paket di atas adalah paket 2 in 1 burger dan crepes.

Di luar itu, ada satu paket lagi yang mengusung konsep 3 in 1. Yakni, burger, crepes, dan ayam goreng atau fried chicken. Menu ayam goreng tepung ini baru dikembangkan sejak tahun 2010. Harga paket ini sebesar Rp 15 juta. Ahmad mengakui, penambahan menu ini merupakan strategi menjaga penjualan agar tetap stabil. Soalnya, ada kecenderungan peminat burger mulai berkurang.
Menurutnya, permintaan burger saat ini tidak setinggi ketika awal Umiku dibuat. "Tapi, permintaan tetap ada dan penjualan burger masih cukup bagus," katanya.

Quickie Eat & Tasted

Quickie Eat & Tasted sudah menawarkan kemitraan sejak tahun 2009 di Bintaro, Tangerang Selatan. Ketika KONTAN mengulas usaha ini pada Agustus 2011, Quickie memiliki dua gerai milik sendiri dan satu gerai milik mitra.

Namun, ternyata nasib kurang menguntungkan dialami Quickie. “Semua gerai Quickie sudah ditutup pada akhir tahun 2011,” ujar Guz Ardi, pemilik Quickie Eat & Tasted.

Ketika ditanya penyebabnya, Ardi mengaku kurang maksimal melakukan kontrol terhadap usahanya. Selain itu, ia juga memiliki usaha lain, yakni ternak ikan, sehingga fokusnya tidak lagi pada usaha burger.
"Sebenarnya, masih ada calon mitra yang tertarik mengembangkan dan pangsa pasar untuk bisnis burger juga cukup luas. Tapi, ada kekurangan dalam hal pengelolaan," ucap dia

Dulunya, Quickie menawarkan paket investasi dengan biaya Rp 10 juta. Paket kerjasamanya selama dua tahun. Dengan investasi sebesar itu, mitra mendapatkan booth, peralatan lengkap, bahan baku awal, serta pelatihan.
Selama periode kerjasama, mitra akan dibebaskan dari royalty fee. "Mitra diberikan keleluasaan melakukan inovasi menu namun tetap atas persetujuan pusat," kata Ardi.

Keleluasaan itu membuat mitra tidak terpaku pada menu burger saja. Tapi bisa mengkombinasikannya dengan menu seperti spaghetti atau rice bowl, yaitu burger dengan campuran nasi.  Ardi mengklaim, menu Quickie terbuat dari 100% daging tanpa campuran bahan kimia lainnya. "Saus dan mayones diracik sendiri, jadi aman bagi kesehatan," ujarnya.Ardi dulu meyakini, mitra bisa meraup omzet Rp 15 juta per bulan, dan balik modal maksimal empat bulan.

Kualitas Pelayanan Harus Memuaskan

BURGER termasuk salah satu kudapan asal Eropa yang punya banyak penggemar di Indonesia. Makanya. Banyak pengusaha makanan menjadikan burger sebagai lading bisnis. Tak pelak, persaingan di bisnis burger pun semakin ketat. Tentu saja, kualitas produk dan pelayanan yang baik menjadi prasyarat utama agar bisa bertahan di bisnis yang tingkat kompetisinya sudah ketat

Pengamat waralaba dari Proverb Consulting, Erwin Halim , mengatakan agar bisa berkembang, setiap pemain harus konsisten meningkatkan kualitas dan memperbanyak varian menu baru. Kalau dari segi produk sudah baik, selanjutnya sistem pemasaran menjadi penentu hidup matinya usaha ini.”Sistem pemasaran yang kreatif dan jeli menangkap peluang pasar akan memetik rezeki lebih besar,”ujarnya.
Menurut Erwin, saat ini, masyarakat sudah akrab dengan burger. Karena itu, mereka ingin mencoba burger yang dari segi rasa berbeda dan pelayanan menyenangkan. “Jadi, tim marketing harus paham betul segmen pasar yang mau dibidik,”ujarnya.

Maka itu, lokasi tempat berjualan juga harus diperhatikan. Jika ingin membidik kelas menengah bawah, pengusaha harus membuka gerai di pemukiman yang banyak dihuni masyarakat kelas menengah bawah.

Namun, bila membidik kelas menengah atas, tempat yang tepat adalah di mal-mal besar yang banyak dikunjungi masyarakat kelas menengah atas. Harganya juga harus sesuai dengan segmen pasar. Di sisi lain, control harus dilakukan secara intensif, baik itu control kualitas, harga, dan pelayanan yang diberikan.

Sumber : Kontan, 26 Januari 2013
               Marantina, Revi Yohana, Noverius Laoli

No comments:

Post a Comment