Monday, July 11, 2011

Usaha Tela Belum Sepenuhnya Bantut


Tetapi, ada pewaralaba makanan berbasis ketela yang jumlah agennya menyusut dan membuka usaha baru

Gloria Natalia
Mona Tobing, Kontan, 5 Februari 2011

PERSAINGAN waralaba berbahan baku ketela kian ketat. Makin banyak pengusaha yang melirik singkong sebagai bahan baku utama produk-produk ma-kannya.
   Para pemain yang telah di-temui KONTAN pun mengamini tingginya tingkat persaingan usaha kuliner ini. Bahkan, salah satu pemain yang telah empat tahun bergelut di bisnis ini, harus rela kehilangan separuh agennya.
   Oleh karena itu, mereka melakukan beragam inovasi dan
menerapkan strategi bisnis baru. Contohnya, mempercantik masa balik modal dan mempercantik penampilan gerobak atau gerai.
   Melalui tulisan ini, KONTAN mencoba mengulas perkembangan kemitraan ketela ini dengan membandingkan kondisinya saat kami pernah liput mereka dulu.

*       Tela – Tela
   Meski penambahan gerai tak sebanyak tahun-tahun sebelumnya, Tela-Tela tetap menjaring mitra. Sejak menawarkan kemitraan pada 2005 hingga 2008, Tela-Tela telah membuka 1.200 gerai.
   Awal 2011, mereka sudah  memiliki 1.800 gerai yang tersebar di seluruh kabupaten di Indonesia. Pertambahan gerai  ini berkat upaya Tela-Tela yang tak berhenti melakukan beragam inovasi.
   Eko Yulianto, pemilik Tela-Tela, mengatakan, konsep bisnis Tela-Tela sudah berubah lantaran persaingan usaha kian ketat. Kini, Eko fokus untuk mengingatkan pendapatan mitra.
   Caranya, dengan menggenjot penjualan para mitra. “Jika satu gerai menjual tela 300 bungkus, kami memasang target 500 bungkus bisa terjual,” ujar Eko. Padahal, sebelumnya, ia lebih berkonsentrasi untuk menjaring mitra sebanyak-banyaknya lewat pelbagai promosi.
   Eko mematok target tinggi itu dibarengi dengan penyajian ragam menu yang kian enak di lidah. “Soal kualitas, kami tidak main-main, tidak boleh berkurang dari standar Tela-Tela,” tegasnya.
   Selain itu, Eko juga mengurangi porsi Tela-Tela yang dijual. Cara ini ternyata jitu. Mitra bisa meraih pendapatan lebih besar. Bila dalam sehari mitra bisa mengantongi penda-patan Rp 300.000, dengan strategi baru mereka bisa meraup omzet Rp 500.000.
   Dengan pencapaian omzet yang lebih besar, perkiraan waktu balik modal pun berubah. Sekarang, mitra hanya butuh waktu enam bulan saja untuk kembali modal. Jadi, lebih cepat dari sebelumnya yang sembilan bulan.
   Eko masih menawarkan dua tipe kemitraan, yakni tipe A seharga Rp 5,5 juta dan tipe B dengan nilai Rp 7 juta. Meskipun nilai investasi awal naik ketimbang sebelumnya, ia opti-mis, tetap bisa menjaring mitra karena kenaikan ini dibarengi dengan membaiknya manajemen Tela-Tela.
   Agar tetap menarik minat konsumen, Tela-Tela juga mempercantik gerobak tempat berjualan. “Pembeli lebih tertarik ketika melihat  tampilan yang menarik,” kata Eko. Manajemen pun berkomitmen untuk mengganti wajah gerai setiap dua tahun.
   Tak lupa, Eko mengutip ongkos renovasi gerobak mulai dari Rp 200.000-Rp 700.000 per gerobak. Tarif tertinggi dipatok untuk gerobak yang hendak ditukar tambah.
   Tak hanya itu, Tela-Tela juga mengemas promosi melalui sebuah lagu via internet. Eko pun menggandeng produsen kaos oblong terkenal di Yogyakarta untuk membubuhkan nama Tela-Tela di produk mereka.

*       Tela Krezz

Beda dengan mitra Tela-Tela yang bertambah, memasuki 2010, jumlah agen Tela Krezz turun separuh, sejak itu sampai Januari 2011 agen yang tersebar di Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan Bali.
   Padahal, di 2008 hingga 2009, Tela Krezz punya 33 agen yang tersebar di 33 kota “Penurunan jumlah agen ini karena mereka tidak melanjutkan kontraknya,” ungkap Ad-mini, manajer Tela Krezz Divisi Yogyakarta.
   Seorang agen terikat kontrak untuk jangka waktu dua tahun di setiap wilayah kabupaten atau kota. Agen berfungsi memasok seluruh kebutuhan gerai. Mereka juga membantu promosi untuk mencapai target penjualan.
   Pada 2008, Tela Krezz mematok biaya investasi Rp 12 juta untuk jangka waktu dua tahun. Desember 2010, nilai investasi keagenan naik menjadi Rp 18 juta. “Kenaikan ini karena kami mengikuti harga pasar,” kata Admini.
    Biaya investasi ini rupanya naik terus tiap tahun. Padahal, ketika Tela Krezz baru menawarkan kemitraan pada 2006, biaya investasi agen hanya Rp 5 juta untuk dua tahun.
   Menurut Admini, sebuah agen Tela Krezz bisa mengelola hingga 10 mitra. Hanya saja, ia tak mengetahui jumlah mitra dan gerai Tela Krezz saat ini. “Kami hanya mengurus agen saja,” kilahnya.
   Ketika KONTAN mengulas Tela Krezz pada Januari 2008, waralaba ketela asal Yogyakarta itu sudah mempunyai 120 gerai hingga akhir 2007. Mereka tersebar di Yogyakarta, Jawa Tengah, Balikpapan, Sa-marinda, Bontang, Palangkaraya, dan Banjarmasin. Saat ini Tela Krezz lebih fokus menjual produk baru, yakni Tela Krezz Beter Cassva. Ini produk beku stik singkong. Mereka memasok produk itu ke restoran, cafĂ©, dan pameran. “Ke depan kami berencana mendistibusikan produk ini ke agen-agen kami,” ujar Admini.

*       Umbi Stick
   Usaha camilan berbahan baku ketela, talas, dan kentang ini berdiri tahun 2006 di Surabaya, di bawah CV Para muda Agro Nusantara. Setahun berlalu, tepatnya September 2007, mereka mulai menawarkan kemitraan.
   Satu tahun mengusung kemitraan, Umbi Stick hanya punya 7 mitra. Nilai investasinya ketika itu Rp 3 juta. Di 2008, sudah ada 60 mitra. Nilai investasi pun naik hingga mencapai angka Rp 6 juta. “Sampai sekarang ada 25 agen dan 150 mitra dengan nilai investasi yang masih sama, Rp 6 juta,” kata pemilik Umbi Stik Nur Yusuf Samapta.
   Yusuf pun menyadari, di tengah pertumbuhan jumlah mitra ini, persaingan makin ketat. Peluang yang tak lagi bagus ini juga terlihat dari perubahan masa balik modal Umbi Stick.
Bila di awal bermitra, Yusuf menargetkan dua hingga tiga bulan bisa balik modal. Sekarang, ia mematok jangka waktu empat hingga lima bulan. “Profitnya tidak sebesar dulu,” tuturnya.  
   Itu sebabnya, ia membuka waralaba baru : Nasi Bakar keraton. Investasinya lebih kecil dibandingkan Umbi Stick, hanya Rp 4 juta.
   Sejak buka Desember 2010, Yusuf sudah punya 18 mitra. “Banyak yang tadinya ingin bermitra Umbi Stick, lebih tertarik menjadi mitra Nasi Bakar Keraton,” katanya.
   Menurut Yusuf, perubahan keinginan ini lantaran mitra menilai Nasi Bakar Keraton punya bumbu sendiri yang tidak sama dengan pemilik usaha nasi bakar lain. Selain itu, mereka berpikir bumbu ketela sama saja dengan usaha ketela lain,” ujarnya.
Olahan Singkong Perlu Permak Lagi 
SINGKONG memang belum menjadi panganan pokok orang Indonesia. Apalagi, citra ubi kayu masih kental sebagai makanan menengah bawah. Tapi, pelan-pelan, imej ketela pohon perlahan-lahan mulai naik kelas, seiring makin banyaknya usaha kuliner yang menggunakan singkong sebagai bahan baku utama. Agar terkesan mewah, kata singkong diganti menjadi tela.
   Maka, lahirlah usaha kuliner berbasis singkong dengan bendera Tella Krezz, Tela-Tela, dan Umbi Stick. Cara ini ternyata mampu mengubah imej singkong dari makanan kampung menjadi salah satu camilan yang digemari masyarakat kota.
   Sempat booming di era 2006-2007, pelaku usaha kuliner singkong terus melakukan inovasi dengan bermacam rasa. Sehingga, bisnis kuliner singkong tetap menjanjikan. Namun, menjelang 2011, usaha ini bisa dikatakan mengalami pasang surut.
   Erwin Halim, pengamat waralaba dari Proverb, bilang, jumlah pertambahan mitra kemitraan kuliner singkong yang tidak signifikan, bahkan malah ada yang berkurang, lantaran sudah tidak ada lagi modifikasi pada produk. Buntutnya, pasar jenuh dengan tela yang sudah tidak menawarkan varian rasa lagi. “Seharusnya, para penjual menyadari kalau jenis tela adalah makanan yang mudah ditiru, sehingga perlu ada inovasi soal bumbunya,” kata Erwin.
   Tidak hanya soal modifikasi rasa, menurut Erwin, pengemasan dan imaji produk juga perlu diperbarui. Bahkan, kalau perlu mengubah wajah produk tela itu sendiri untuk menghapus kejenuhan orang. Kalau semua perubahan itu dilakukan, bukan mustahil tela akan menjadi makanan yang di gemari seluruh lapisan masyarakat kita.

No comments:

Post a Comment